Sunday, April 15, 2007
MELAWAN PENJAJAHAN LEWAT KAMPUS
Penjajahan dalam Perguruan Tinggi (PT), dilakukan secara sistematis dan terencana oleh kaum kafir imperialis melalui komprador-kompradornya di negeri tercinta ini. Penjajahan melalui PT dilakukan dengan dua hal: 1) penerapan paradigma sekular-materialistik yang berimplikasi pada penerapan point selanjutnya, yakni, 2) penerapan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan perguruan tinggi yang neoliberalistik-kapitalistik.
Diakui atau tidak, paradigma pendidikan nasional saat ini adalah sekular-materialistik. Hal ini terlihat antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI, pasal 15 yang memisahkan pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia salih berkepribadian Islam sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan zaman melalui penguasaan sains dan teknologi.
Mengenai Kebijakan pemerintah, melalui pembuatan UU Sisdiknas atau RUU Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) dan sekarang sedang sedang digodog RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP), cengkeraman penjajah neoliberalisme-kapitalisme di perguruan tinggi semakin kuat. Konsep BHP dan BHMN diilhami oleh semangat mengembalikan dan melindungi fungsi institusi pendidikan sebagai alat untuk mentransformasikan nilai-nilai kemasyarakatan dan membebaskan pendidikan dari hegemoni kekuasaan, dan pendidikan harus dikembalikan kepada masyarakat dan dilaksanakan dari, oleh dan untuk masyarakat. Di balik itu, sesungguhnya terdapat upaya terselebung untuk memasukan nilai-nilai liberalisme dan kapitalisme dalam dunia pendidikan.
Liberalisme pendidikan tergambar dari upaya melepaskan tanggung jawab negara dalam pengelolaan kurikulum dan nilai-nilai pendidikan. Pengelolaan ini sepenuhnya diserahkan kepada nilai-nilai masyarakat bahkan nilai-nilai asing, sehingga hal ini membuka intervensi asing dalam upaya penghancuran akidah dan kepercayaan bangsa yang sebagian besar muslim ini. Melalui liberalisme, pencetakan agen-agen perubahan (agen penjajah) menjadi mudah dan mempercepat kerusakan bangsa. Sedangkan kapitalisasi pendidikan ditandai dengan upaya negara untuk melepaskan tanggung jawabnya dalam hal pendidikan, terutama soal pembiayaan. Ketika pendidikan diserahkan kepada publik, pendidikan tak lagi dipandang sebagai pelayanan umum, namun lebih dominan aspek komersialnya. Dalam kapitalisasi ini, Ajang bisnis kapitalis melalui Majelis Wali Amanat (MWA) dengan berkedok nirlaba menjai subur.
Derita Rakyat Akibat Kapitalisasi dan Liberalisasi Pendidikan
Upaya pemerintah untuk mendorong Perguruan Tinggi Negeri menjadi otonom sebagai BHMN telah menimbulkan kegelisahan dan kesengsaraan rakyat. Kebijakan tersebut telah menyebabkan mahalnya biaya pendidikan tinggi, terpecahnya tujuan pendidikan tinggi antara tujuan akademik dan tujun bisnis, terbukanya kurikulum pendidikan tinggi terhadap pemikiran-pemikiran liberal, dan kacaunya pelaksanaan proses pendidikan.
Setiap universitas yang berstatus BHMN ‘diberikan hak’ untuk mengelola pembiayaan pendidikannya. Artinya, pemerintah telah melimpahkan tanggung jawab pengelolaan pendidikan tinggi kepada BHMN bersangkutan. Berdasarkan hal ini, setiap BHMN yang ada harus berupaya secara mandiri untuk memenuhi seluruh pembiayaan pendidikannya. Dengan keterbatasan dana yang dimiliki, akhirnya sebagian besar BHMN yang ada mengeluarkan berbagai kebijakan yang komersial, seperti ‘jalur khusus’ penerimaan mahasiswa baru, kenaikan SPP, subsidi silang, kurikulum kompetensi, dan pengelolaan PT yang bersifat korporatif atau seperti badan usaha termasuk melakukan kerjasama dengan pihak asing meski dengan syarat tertentu. Semua itu akan mengganggu fungsi PT sebagi lembaga pendidikan di samping akan membebani masyarakat.
Kebijakan ini amat memberatkan masyarakat, terutama kalangan miskin. Amat sulit bagi mereka bisa menempuh pendidikan tinggi dan bermutu. Akibatnya, pendidikan hanya dapat dinikmati segelintir kalangan berpunya saja. Terjadilah ‘lingkaran setan’ antara kemiskinan dan kebodohan. Karena miskin, ia tidak dapat mengenyam pendidikan, akibatnya menjadi bodoh. Karena bodoh, ia tidak mempunyai keahlian dan keterampilan sehingga sulit mencari pekerjaan yang layak, dan akibatnya menjadi miskin. Itu berarti, kapitalisasi pendidikan turut melanggengkan kemiskinan yang dialami mayoritas masyarakat.
Kembali Pada Islam, Solusi Cerdas dan Bijak
Untuk menghentikan penjajahan ini, kita harus kembali pada Islam. Dalam pandangan Islam, pendidikan adalah salah satu bentuk pelayanan pemerintah kepada rakyat yang wajib diwujudkan. Artinya, penyelenggaraan pendidikan untuk rakyat sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan yang lain. Dengan kata lain, pendidikan adalah hak rakyat yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Sebagai bentuk pelayanan yang wajib diberikan kepada rakyat, pemerintah tentu tidak selayaknya membebankan biaya penyelenggaraan pendidikan tersebut kepada rakyat. Rasulullah saw. bersabda:
Seorang imam (khalifah/ kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat; ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Imam Ibn Hazm dalam kitabnya, al-Ahkâm, menjelaskan bahwa seorang kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk masyarakat.
Lebih dari sekadar terselenggaranya pendidikan gratis atau sangat murah bagi rakyat, pendidikan harus menghasilkan setidaknya dua hal penting. Pertama, mampu melahirkan generasi yang memiliki kepribadian tangguh. Itu tercermin pada perilakunya yang baik, taat syariat, serta kokoh menghadapi berbagai godaan dan tantangan dalam kebenaran.
Kedua, mampu menghasilkan generasi yang menguasai pengetahuan; baik yang berkaitan dengan cara menjalani hidup secara benar, seperti akidah, syariat, dan sebagainya maupun berbagai pengetahuan yang dapat menopang kehidupan dan berbagai sarananya, seperti sains dan teknologi.
Selain itu, pendidikan itu sendiri haruslah ditujukan dalam rangka membekali akal masyarakat dengan pemikiran dan ide-ide yang sehat, baik yang berkaitan dengan akidah maupun hukum. (Abdurrahman al-Bagdadi, Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, 1996). Hal itu hanya mungkin diwujudkan dengan cara menyelenggarakan sistem pendidikan yang islami. Dengan begitu, ide-ide atau pemahaman-pemahaman yang sesat lagi batil dapat diberantas.
Hentikan penjajahan!
Penderitaan dan ketertindasan takan pernah hilang dari bangsa ini selama kita tidak menyadari dan mau bergerak menyongsong perubahan. Penjajahan, apapun bentuknya harus dimusnahkan, termasuk penjajahan lewat pendidikan. Sesungguhnya, penjajahan melalui pendidikan ini merupakan bagian integral dari penjajahan lainnya, baik ekonomi mupun politik yang disusun secara sistematis oleh musuh bangsa ini. Musuh Islam. Musuh kita semua yakni penjajah kafir barat dan antek-anteknya.
Gema Pembebasan mengajak seluruh komponen kaum Muslim di negeri ini; mahasiswa, pelajar, sipil maupun militer, partai maupun non-partai, buruh, petani, dan nelayan, para ulama, para santri, para budayawan, para wartawan, para cendekiawan, serta para bisnisman dan hartawan untuk melawan ketidakadilan yang sekarang terjadi. Penjajahan gaya baru melalui instrumen pendidikan harus segera kita hentikan, tidak ada kata lain untuk menghentikan penjajahan ini dengan kata Lawan! Lawan dengan kekuatan super power melalui tegaknya syariah dan khilafah, Allahu akbar!
Thursday, April 12, 2007
Profile Singkat Gema Pembebasan
Mahasiswa dengan idealismenya memiliki potensi yang cukup besar dalam proses perubahan sosial dan politik. Akan tetapi selama ini mahasiswa banyak diwarnai oleh berbagai gerakan yang tidak atau kurang berani dalam mengedepankan ideologi Islam.
Oleh karena itu diperlukan sebuah jaringan dakwah kampus se-Indonesia untuk mengkampanyekan pemikiran-pemikiran Islam dan solusi-solusi Islam atas segala permasalahan serta untuk melahirkan kader-kader dakwah mahasiswa yang suatu saat akan terjun ke masyarakat.
Jaringan inilah yang kemudian diberi nama
GERAKAN MAHASISWA PEMBEBASAN
V I S I :
Menjadikan Ideologi Islam sebagai mainstream gerakan mahasiswa di Indonesia.
M I S I :
- Mengembangkan manajemen pengelolaan opini ideologi Islam sehingga memiliki daya gugah yang membangun kesadaran politik dan daya pembebas terhadap seluruh faktor yang membelenggu Islam.
- Membangun jaringan pergerakan Mahasiswa Islam ideologis di seluruh Indonesia.
- Mengembangkan sistem pendukung bagi transformasi ideologi Islam di kalangan mahasiswa dan pergerakan mahasiswa.
- Membentuk kader pergerakan mahasiswa Islam yang ideologis dan memiliki kemampuan dalam mengembangkan opini.
T U J U A N :
Terbentuknya opini Islam Ideologis di kalangan mahasiswa dan pergerakan mahasiswa di Indonesia.
K E G I A T A N :
Sebagai organisasi mahasiswa Islam Ideologis,
GERAKAN MAHASISWA PEMBEBASAN memiliki kegiatan antara lain :
- Penulisan dan penyebaran artikel serta buletin keislaman
- Mengadakan bedah buku
- Mengadakan kajian keislaman tematik dan kajian bahasa arab.
- Mengadakan outbound dan pelatihan
- Mengadakan dialog pemikiran
- Mengadakan seminar-seminar keislaman
- Menanggapi masalah-masalah yang aktual dengan sudut pandang Islam.
- Mengadakan acara bersama dengan Lembaga Dakwah kampus lainnya.
- Mengadakan aksi simpatik pada moment-moment tertentu.
Membongkar Liberalisasi dan Kapitalisasi Pendidikan
Buletin Gema Pembebasan Edisi III-IV Maret 2007
Rakyat tertindas! Rakyat disiksa dengan metode yang sistematis. Para pembuat kebijakan yang seharusnya melayani rakyat, dengan semena-mena justru merampas dan menginjak-injak hak rakyat melalui mekanisme legislasi. Kini, rakyat yang miskin, kurang gizi dan bodoh ini, tengah menantikan munculnya alat penyiksa baru yang akan memenjarakan mereka dalam kemiskinan dan kebodohan. Alat penyiksa itu tersusun dalam Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Rancangan Undang-Undang (BHP) sebagai konsekuensi dari pasal 53 ayat (1) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) akan segera diajukan ke DPR. Naskah tersebut kini berada di Sekretariat Negara dan proses pengajuannya ke DPR tinggal menunggu amanat dari Presiden. DPR sudah memasukkan RUU BHP ini menjadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2007, sehingga ditargetkan 2007 selesai (Media Indonesia, 27/01/07). RUU ini mengatur badan hukum pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Jika di amati, RUU tersebut mengarah pada upaya liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan nasional. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas, Mansyur Ramly (Kompas, 03/10/06), menegaskan substansi RUU tersebut, antara lain, melepaskan perguruan tinggi dari intervensi pemerintah. Kelak, tidak ada lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS). Semuanya dikelola dalam sebuah model privatisasi. Pengelolaan PTN model privatisasi merupakan bentuk liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan. Pakar pendidikan, H.A.R Tilaar, menilai RUU BHP sebagai bagian representasi neo liberalisme dalam dunia pendidikan. "Jelas agenda neo liberalisme, pemerintah terlihat ingin cuci tangan dari tanggung jawabnya pada pembiayaan pendidikan," ujar H.A.R Tilaar (Tempo,12/4/2005). Menurut Tilaar, Pemerintah secara terselubung berupaya menghindarkan tanggung jawab penyisihan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bagi pendidikan. Untuk melepaskan tanggung jawab tersebut, pemerintah memandang pentingnya otonomi pada perguruan tinggi. Pemikiran perlunya otonomi pada perguruan tinggi menjadi dasar pembentukan RUU BHP ini. Konsep BHMN yang sudah dijalankan oleh tujuh PTN (UI, UGM, ITB, IPB, USU, UPI dan Unair) pada perjalanannya akan senanfas dan "disempurnakan" oleh RUU BHP. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan pemerintah tentang BHMN tidak akan berlaku lagi. Dalam status BHMN, pemerintah masih bertanggung jawab walaupun BHMN diberikan otonomi sendiri untuk mengelolanya. Namun, ketika BHMN berpindah status menjadi BHP, maka konsekuensinya adalah pemerintah melepaskan tanggung jawab pengelolaan universitas sepenuhnya terhadap pihak pengelola pendidikan dan masyarakat itu sendiri.
Liberalisasi dan Kapitalisasi dalam RUU BHP
Nuansa privatisasi sebagai bentuk liberalisasi dan kapitalisasi semakin nyata di dunia pendidikan kita. Upaya pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam menyelenggarakan dan membiayai pendidikan, sudah terlihat dalam legalitas pendidikan. Aromanya dimulai dari munculnya sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Selaku ibu kandung RUU BHP, UU Sisdiknas menunjukkan adanya penurunan derajat "kewajiban" pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan dasar rakyat, menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. Ini terlihat pada Pasal 9 UU Sisdiknas, yang menyatakan bahwa ""masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan", dan Pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan. Ujung dari pelegalan privatisasi pendidikan, terlihat dalam RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP). Dalam RUU tersebut secara nyata pemerintah ingin berbagi dalam penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat. Hal itu terlihat dalam Pasal 1 Ayat (1) RUU BHP yang berbunyi, "Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat, berfungsi memberikan pelayanan pendidikan, berprinsip nirlaba, dan otonom". Kemudian pada Pasal 36 Ayat (1), secara terus terang pemerintah menyatakan bahwa pendanaan awal sebagai investasi pemula untuk pengoperasian Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM) berasal dari masyarakat maupun hibah, baik dari dalam atau luar negeri. Contoh lain dari kapitalisasi dan liberalisasi yang terkandung dalam RUU BHP, misalnya dalam Pasal 2 RUU BHP, ada beberapa prinsip BHP yang kelihatannya manis namun penuh kebusukan. Seperti prinsip nirlaba, sebenarnya lebih cenderung menjadikan lembaga pendidikan seperti LSM/NGO. Dengan prinsip ini, PTN misalnya, akan mendapat dana dan program dari orang-orang Kapitalis yang sarat dengan kepentingan pribadi yang cenderung mencari keuntungan. Hal ini sejalan dengan prinsip Partisipatif, masih dalam pasal yang sama, yaitu melibatkan "para pihak yang berkepentingan" dalam penyelenggaraan pendidikan, sehingga penyelenggaraan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama "para pihak yang berkepentingan". Pihak yang berkepentingan (kapitalis) akan diberi kebebasan mengobok-obok pendidikan negeri ini. Prinsisp otonom, yaitu kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri, sehingga mampu menjalankan fungsinya secara kreatif. Sesungguhnya prinsip ini hanya akan membuka intervensi asing. Dengan prinsip ini, fakultas/sekolah dapat melakukan kerjasama langsung dengan pihak luar, tanpa melalui Rektor. Selain itu, Dalam pasal 6 ayat (1) disebutkan, lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat mendirikan BHP baru di Indonesia bekerjasama dengan BHP yang keseluruhan anggota MWAnya berwarganegara Indonesia". Pasal ini memberikan kebebasan kepada sekolah internasional untuk beroperasi tanpa batas, dan disesuaikan dengan pemikiran dan nilai-nilai mereka. Dengan demikian, proses sekularisme/liberalisme akan semakin subur dan bertambah cepat di negeri ini. Dalam RUU BHP, BHP memiliki Majelis Wali Amanat (MWA). MWA adalah lembaga tertinggi yang menetapkan dan mengesahkan kebijakan dalam BHP. Tentu, MWA ini akan gampang ditunggangi oleh berbagai kepentingan. Ajang bisnis kapitalis melalui Majelis Wali Amanat (MWA) dengan berkedok nirlaba akan menjadi subur. Nuansa pengendalian kampus oleh pihak kapitalis semakin dikukuhkan dengan adanya aturan dalam pasal 10, ayat (8), yang mengharuskan ketua MWA berasal dari masyarakat (yang sejatinya para kapitalis),bukan dari pihak kampus. Bukan itu saja, menurut mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Munarman, SH, berbagai program pendidikan yang terkandung dalam BHP diduga merupakan proyek Dikti melalui IMHERE (Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency). Pendanaan program ini melalui pinjaman dari Bank Dunia yang tentunya, arah pendidikan bisa jadi bakal tidak selaras lagi dengan kebutuhan pendidikan di Indonesia (Jawa Pos, 11/03.07). Dengan demikian, kita bisa melihat dengan jelas, BHP adalah perangkat undang-undang yang akan semakin memantapkan liberalisme dan kapitalisme di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Liberalisasi dalam BHP akan menyebabkan pendidikan sarat dengan nilai-nilai kebebasan di mana negara tak lagi berfungsi sebagai pelayan. Kapitalisasi, akan berimplikasi pada semakin mahal pendidikan. Pendidikan akan lebih berorientasi pasar, berpegang pada hukum supply-demand, dan cenderung berburu rente (rent seeking). Pendidikan hanya bisa diakses oleh kelompok bermodal. Orang miskin, akan tetap berada di tempatnya, terpenjara oleh kemiskinannya.
Jika Kurang dana, Jangan Jual Negeri Tercinta!
Pendidikan gratis untuk tingkat dasar saja, pemerintah belum sanggup. Apalagi untuk tingkat menengah dan tinggi. Hal ini ternyata sudah diakui pemerintah sendiri akan ketidakmampuannya. Hal itu tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menyatakan dengan tegas bahwa pemerintah belum mampu menyediakan pelayanan pendidikan dasar secara gratis (RPJM, halaman IV.26-4), (Kompas,18/04/05). Kemudian, pengakuan yang sama juga terungkap dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Wajib Belajar, di mana pemerintah mulai mengikutkan masyarakat dalam pembiayaan sekolah dasar. Hal itu diungkap pada Pasal 13 Ayat (3), "Masyarakat dapat ikut serta menjamin pendanaan penyelenggaraan program wajib belajar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat". Inilah yang kemudian mendasari pemerintah untuk berlepas dari tanggung jawab pembiayaan pendidikan nasional. APBN kita defisit. Anggaran pendidikan yang seharusnya 20 % APBN, ternyata hanya 9,1 % saja. Indonesia miskin di tengah limpahan kekekayaan alam. Sesungguhnya, negeri ini akan makmur jika pemerintahnya tidak tunduk dan mau menjadi budak para imperialis-kapitalis yang dikomandoi oleh AS dan konco-konconya. Tambang emas, batu bara, minyak bumi, hutan, kekayaan alam lainnya, jika tidak dipersembahkan kepada para penjajah, akan menjadikan kas negara surplus. Dengan demikian, Indonesia akan mampu menyediakan pendidikan gratis dan bermutu bagi rakyatnya. Pendidikan gratis di Indonesia bukanlah mimpi. Ini bisa terwujud tanpa harus menjual negeri kita kepada pihak asing dan para kapitalis.
Peran Negara dalam Pendidikan Umat
Dalam pandangan Islam, pendidikan adalah salah satu bentuk pelayanan pemerintah kepada rakyat yang wajib diwujudkan. Artinya, penyelenggaraan pendidikan untuk rakyat sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan yang lain. Dengan kata lain, pendidikan adalah hak rakyat yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Sebagai bentuk pelayanan yang wajib diberikan kepada rakyat, pemerintah tentu tidak selayaknya membebankan biaya penyelenggaraan pendidikan tersebut kepada rakyat. Imam Ibn Hazm dalam kitabnya, al-Ahkâm, menjelaskan bahwa seorang kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk masyarakat. Dengan demikian, negara harus berupaya secara optimal guna terwujudnya sistem pendidikan yang memadai lagi gratis. Sudah saatnya seluruh kaum muslimin berbicara kepada penguasa di negeri ini, menyampaikan nasihat yang benar. Bahwa pendidikan seluruh rakyat adalah tanggung jawab negara. Rasulullah saw. bersabda: Tidaklah seseorang yang diberi jabatan mengurusi rakyat muslim lalu dia mati dalam keadaan menipu mereka, melainkan Allah mengharamkan surga darinya. (H.R. Bukhari dan Muslim) Mari Bergerak, Lawan Penindasan! Penindasan oleh kapitalisme global melalui bonekanya, yakni penguasa negeri ini, harus dilawan oleh rakyat dengan penuh keberanian.
Mari bergerak, lawan penindasan!
Kita bongkar setiap konspirasi busuk yang bertujuan menjajah negeri muslim. Sesungguhnya, bau busuk dari rencana jahat mereka akan segera terbongkar. Mari kita bersatu, dalam membumikan aturan Allah yang akan mampu memecahkan setiap persoalan. Totalitas hukum Allah dalam naungan Khilafah Islamiyah akan menjadi pembebas kita dari tangan-tangan penjajah. Janganlah kita buta mata, sehingga untuk menyelesaikan persoalan bangsa ini saja, kita harus menjual negeri ini. Kembalilah kepada hukum Allah. Tidakkah kita mengetahui keagungan aturan Islam yang sempurna? Apakah kita lebih rela dijajah dengan aturan kapitalisme, daripada harus kembali pada Islam? Allah berfirman: Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin. (TQS. al-Maidah [5]: 20).